Thawaf ifadhah adalah di antara rukun haji yang mesti dilakukan. Jika tidak melakukan thawaf yang satu ini, maka hajinya tidak sah. Thawaf ini biasa disebut thawaf ziyaroh atau thawaf fardh. Dan biasa pula disebut thawaf rukn karena ia merupakan rukun haji. Setelah wukuf di ‘Arofah, mabit di Muzdalifah lalu ke Mina pada hari ‘ied, lalu melempar jumroh, lalu nahr (melakukan penyembelihan) dan menggunduli kepala, maka ia mendatangi Makkah, lalu thawaf keliling ka’bah untuk melaksanakan thawaf ifadhah.
Thawaf Ifadhah Bagian dari Rukun Haji
Allah Ta’ala berfirman,
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29). Berdasarkan ijma’ (kata sepakat ulama), yang dimaksud dalam ayat ini adalah thawaf ifadhah.
Dalil dari hadits,
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَىٍّ زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حَاضَتْ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَحَابِسَتُنَا هِىَ » . قَالُوا إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ . قَالَ « فَلاَ إِذًا »
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Shofiyyah binti Huyai -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah mengalami haidh. Maka aku menyebutkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Apakah berarti ia akan menahan kita?” Mereka berkata, “Dia sudah melakukan thawaf ifadhah.” Beliau bersabda, “Kalau begitu dia tidak menahan kita“. (HR. Bukhari no. 1757 dan Muslim no. 1211).
Dalil-dalil di atas yang menunjukkan bahwa thawaf ifadhah adalah rukun haji.
Syarat Thawaf Ifadhah
1- Disyaratkan thawaf ifadhah harus didahului dengan ihram terlebih dahulu.
2- Thawaf tersebut didahului dengan wukuf di Arafah. Jika seseorang melakukan thawaf ifadhah sebelum wukuf, maka thawaf tersebut harus diulang berdasarkan ijma’ atau kata sepakat ulama.
3- Berniat untuk thawaf, namun tidak mesti mengkhususkan niat untuk thawaf ifadhah menurut jumhur karena ia sudah berniat masuk dalam haji.
4- Thawaf ifadhah dilakukan dari tengah malam hari raya Idul Adha (malam 10 Dzulhijjah) bagi yang wukuf di ‘Arafah sebelumnya. Demikian pendapat dalam madzhab Syafi’i dan Hambali.
Akhir Waktu Thawaf Ifadhah
Adapun waktu akhir thawaf ifadhah tidak dibatasi. Namun melakukan thawaf ifadhah di hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) lebih afdhol karena mengingat perkataan Ibnu ‘Umar,
أفاض رسول الله صلى الله يوم النحر
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan thawaf ifadhah pada hari Nahr.” (Muttafaqun ‘alaih).
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah rahimahullah, jika thawaf ifadhah diakhirkan dari hari tasyriq (artinya: dikerjakan setelah hari tasyriq), maka thawaf tersebut tetap dilaksanakan dengan ditambah adanya kewajiban damm. Namun murid-murid Abu Hanifah menyelisihi pendapat beliau.
Jika seseorang melakukan thawaf ifadhah setelah hari Idul Adha dan hari tasyrik atau bahkan setelah Dzulhijjah, maka selama itu ia masih dalam keadaan muhrim (berihram), tidak boleh ia menyetubuhi istrinya.
Thawaf ifadhah adalah rukun dan tidak bisa tergantikan, jadi tidak bisa tidak, mesti dijalani.
Cara Melakukan Thawaf Ifadhah
Sebagaimana thawaf lainnya, thawaf ifadhah dilakukan dengan tujuh kali putaran. Setiap putaran tersebut merupakan rukun menurut jumhur (mayoritas ulama).
Wajib bagi yang mampu untuk berjalan melakukan thawaf, demikian pendapat jumhur, berbeda halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap sunnah.
Disunnahkan ketika melaksanakan thawaf ifadhah untuk melakukan roml (jalan cepat dengan memperpendek langkah) dan idh-thibaa’ yaitu membuka bagian pundak kanan, ini berlaku bagi yang melakukan sa’i setelah itu. Jika tidak, maka tidaklah disunnahkan.
Setelah melakukan thawaf diwajibkan melakukan shalat dua raka’at menurut jumhur, sedangkan menurut Syafi’iyah dianggap sunnah.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al Wajiz Al Muqorin fii Ahkam Az Zakah wash Shiyam wal Hajj, Syaikh Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubbi, terbitan Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu’un Al Islamiyah, Kuwait, juz ke-17.
—
Disusun saat Dinner Nasi Goreng, Imogiri, Bantul, 27 Dzulqo’dah 1434 H
Artikel www.rumaysho.com